PURWA WACANA

Om Swastiastu,

Desa Pakraman Pedungan memiliki pengurus yang telah di Adiksa Widhi lan Abiseka (dilantik) pada Soma, 19 Desember 2005. Dengan susunan pengurus sebagai berikut: Bendesa : Drs. I Nyoman Sumantra; Penyarikan: Drs. I Gusti Putu Loka; Patengen : Drs. I Wayan Budiasa, M.Si; Patajuh Parhyangan : I Nyoman Jiwa, S.Sos; Patajuh Pawongan : I Ketut Puje Astawa, S.Ag; Patajuh Palemahan : Ir. I Ketut Adhimastra, M.Erg; Kasinoman: I Made Suardana, SE

Om Santhi, santhi, santhi Om

Rabu, 07 April 2010

Menjaga Kelestarian Alam dan Budaya Bali

Santukan ring Desa Pakraman jaga ngawentenang Karya Ngusabha Desa, puniki wenten tulisan saking I Gst. Ngurah Putra, As. Pengurus PHDI Kecamatan Baturiti, Tabanan. Bidang Sastra dan Agama. Manawi tulisan puniki kantun maiketan taler sakadi pakinkin/rencana ngamargiang Ngusabha Desa ring Desa Pakraman Pedungan, ngiring sareng-sareng wacen, lan kayunin, manawi wenten pikenohnyane.
sumber: klik iriki

November 1, 2005

Diakui atau tidak hampir sebagian daerah pertanian di Bali kini tergerus oleh perkembangan pembangunan. Perkembangan pembangunan itu berdampak positif dan negatif terhadap pelestarian alam Pulau Dewata ini. Hilangnya sebagian lahan pertanian juga berpengaruh terhadap hidup dan kehidupan manusia Bali itu sendiri. Dari sisi budaya, tentu dengan hilangnya sebagian lahan pertanian sebagai tempat beraktivitasnya masyarakat Bali akan menghilangkan kegiatan budaya agraris. Persoalan sekarang, apa yang mesti dilakukan manusia Bali dalam melestarikan alam, lingkungan, dan budayanya untuk menjaga ajegnya gumi Bali dari pengaruh globlisasi?
=============================
Berbagai upacara agama digelar untuk membangkitkan kembali rasa kebersamaan dan semangat dalam melestarikan kebudayaan Bali, termasuk mempertahankan budaya agraris. Hampir sebagian besar upacara ritual yang digelar itu berhubungan dengan budaya agraris. Namun, perjuangan umat mengajegkan Bali tidak hanya berhenti pada upacara ritual. Perlu langkah-langkah nyata dalam mempertahankan budaya agraris.


Salah satu upacara yang erat kaitannya dengan pelestarian alam dan budaya Bali adalah ngusaba desa dan ngusaba nini. Belakangan ini, hampir sebagian besar masyarakat di sejumlah desa adat di Bali menggelar upacara jenis itu. Tak ketinggalan Desa Adat Perean, Baturiti, Tabanan akan menggelar upacara serupa yang puncakanya Senin (17/10) mendatang di desa adat setempat.
Namun, kegiatan yang berlangsung di Perean sedikit berbeda bila dibandingkan dengan desa lainnya. Perean penduduknya mayoritas petani, sebagian pedagang, dan selebihnya mengambil pekerjaan serabutan tentu dalam pelaksanaan upacara ngusaba ini cenderung ditekankan kepada ngusaba nini karena wilayah pertanian masih mampu dilestarikan.
Berdasarkan etimologi kata, upacara ngusaba desa terdiri atas tiga suku kata yakni upacara-ngusaba desa, masing-masing berarti upacara adalah gerakan sekeliling kehidupan dan aktivitas-aktivitas manusia dalam upaya menghubungkan diri dengan Ida Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), dengan segenap manifestasi-Nya.
Ngusaba berasal dari akar kata utsawa, dalam bahasa daerah Bali usahabha (ngusabha) atau pangusabhan yang mempunyai arti ganda diambil dari kata sabha berarti pertemuan (rapat), utsawa (usabha) berarti pesta atau perjamuan. Sedangkan kata desa berarti tempat atau wilayah, sehingga dengan demikian kata upacara ngusabha desa berarti, sidang atau pertemuan para Dewata-Dewati berlokasi di Bale Agung bertemakan kesejahteraan wilayah desa pakraman beserta isinya. Arti selanjutnya, pesta, (perjamuan, persembahan), dalam satu wilayah — kehadapan Hyang Widi dengan segenap manifestasi-Nya. Yang dimaksud wilayah adalah daerah teritorial (wewidangan atau palemahan suatu desa pakraman di Bali).
Dalam konteks kekinian pelaksanaan upacara ngusabha desa, merupakan swadharma agama masing-masing desa pakraman di Bali. Sebenarnya upacara ngusabha atau pangusabhan itu banyak sekali jenisnya. Hal itu dapat terjadi karena pleksibelitas dan elastis konsep ajaran agama Hindu di Bali. Di samping adanya pengaruh adagium desa kala patra, desa mawacara, juga negara mawatata.
Walaupun bentuk dan jenis pelaksanaan upacara ngusabha bervariasi, pada hakikatnya pelaksanaannya tetap bersumber kepada konsep ajaran sastra agama Hindu yang tertuang pada kitab suci dan lontar-lontar di Bali. Hanya penekanan hakikat pemujaan manifestasi-Nya yang lebih dikhususkan. Sehingga terjadilah berbagai bentuk dan jenis upacara ngusabha di lingkungan desa pakraman di Bali dengan berbagai aktivitas yang berbeda-beda namun memilik tujuan yang sama.
Pelaksanaan upacara pangusabhan yang paling umum dilakukan oleh umat Hindu di Bali adalah upacara ngusabha desa dan upacara ngusabha shri (nini). Yang pelaksanaannya hampir sama, termasuk upakara, lokasi maupun rangkaian upacaranya. Tetapi penekanan hakikat pemujaannya terhadap manifestasi-Nya berbeda.
Upacara ngusabha desa, hakikat pemujaannya secara fisik adalah untuk air dan bumi, sehingga yang dipuja dalam upacara ngusabha desa adalah Dewa Wisnu atau dewanya air, Pretiwi Dewi adalah bumi yang dimaksud persembahan untuk air dan bumi (tanah). Mengapa demikian? Karena air dan tanah memiliki kekuatan dan kesuburan, sehingga seluruh tumbuhan dapat tumbuh dengan subur dengan daun, bunga, buah, batang, umbinya, untuk dapat dinikmati oleh umat manusia.
Jika semua itu bisa diwujudkan atau dikongkretkan baik dalam bentuk upacara maupun dalam aktivitas masyarakat sehari-hari maka kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan ini akan tercapai. Dalam upacara ngusabha ini yang ditekankan adalah pemujaannya yakni pemujaan sakti (kekuatan). Sehingga dalam pelaksanaan upacara ngusabha desa pemujaannya adalah kepada Ibu Pratiwi. Demikian pula halnya, karena keberhasilan semua bentuk dan jenis tanam tanaman, terutama padi, yang merupakan wujud fisik Dewi Shri atau saktinya Dewa Wisnu, sehingga upacara pangusabhan yang diselenggarakan disebut Ngusabha Shri (Nini).
Pelaksanaan pemujaannya dan persembahan cenderung dilaksanakan oleh krama subak, pemilik areal sawah yang berada di wilayah desa pakraman yang bersangkutan. Padi merupakan perwujudan fisik Dewi Shri salah satu unsur Tri Bhoga (Boga, Upa Boga, Pari Boga) berarti terkait dengan sandang pangan dan papan. Unsur-unsur ini mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh krama desa pakraman, sehingga tercapainya kebahagiaan lahir dan batin dalam kehidupan di bumi ini.
Dalam pemujaan Ngusabha Desa dan Ngusabha Nini terdapat dua sisi yang berbeda namun tetap menyatu. Pemujaan Ngusabha Desa menekankan permohonan agar bumi dan air memiliki kekuatan dan kesuburan Ngusabha Shri (Nini) menekankan pernyataan angayubagia atas keberhasilan seluruh tanaman terutama padi.
Upacara agama Ngusabha Desa dan Ngusabha Nini, bila dikaji lebih jauh akan beraplikasi terhadap kehidupan sehari-hari. Upacara ini harus diterjemahkan atau dipersonifikasikan untuk dapat mencapai keseimbangan antara dharma agama dan dharma negara. Mengapa demikian? Karena umat manusia juga dibentuk terdiri atas badan halus dan badan kasar, antara bakti dan kerja agar berjalan selaras.
Bhagawatgita (III.14) menyebutkan: Annad bhavanti bhutani, Parjanyad annasambhavah, Yajnad bhavati parjanyo, Yajnah karma samudbhavah. Artinya: Karena makanan makhluk bisa hidup, karena hujan makanan tumbuh, karena persembahan hujan turun, dan persembahan lahir karena kerja.
Sikap dan perilaku nalar agama dalam usaha dan upaya menunaikan swadharma agama, nampaknya memiliki titik temu dengan konsep Karma Yoga. Dalam blantika kehidupan ini, harus selalu didasari oleh tindakan atau kerja yang merupakan hukum alam. Bekerja seperti telah diwajibkan dengan kebaktian dan pengabdian kehadapan Hyang Widi, tanpa mengharapkan keuntungan pribadi, demi kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia.
Demikian pula dengan upacara Ngusabha Desa dan Ngusabha Nini dalam pemujaan pada hakikatnya permohonan kehadapannya dalam manifestasi Dewa Wisnu dan Dewi Pratiwi, untuk kesejaheraan dan kebahagiaan umat manusia agar bumi menjadi subur, karena adanya hujan dan air, sehingga tanaman seluruhnya berhasil. Dan, akibatnya umat manusia pun menjadi sejahtera dan bahagia, karena dapat menikmati tri bhoga atau sandang, pangan, dan papan.
Upacara agama akan mubazir bila tidak ditindaklanjuti dengan kerja. Demikian pula sebaliknya upacara agama itu akan berhasil bila ditindaklanjuti dengan kerja ‘’berbakti sambil bekerja'’.
Di sini tersirat konsep ajaran Tri Hita Karana — hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia antarmanusia, hubungan manusia dengan wilayah atau palemahan — dengan demikian terciptalah suatu kelestarian untuk menuju ajegnya Bali.
================================
* I Gst. Ngurah Putra, As.
Pengurus PHDI Kecamatan Baturiti, Tabanan
Bidang Sastra dan Agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar