PURWA WACANA

Om Swastiastu,

Desa Pakraman Pedungan memiliki pengurus yang telah di Adiksa Widhi lan Abiseka (dilantik) pada Soma, 19 Desember 2005. Dengan susunan pengurus sebagai berikut: Bendesa : Drs. I Nyoman Sumantra; Penyarikan: Drs. I Gusti Putu Loka; Patengen : Drs. I Wayan Budiasa, M.Si; Patajuh Parhyangan : I Nyoman Jiwa, S.Sos; Patajuh Pawongan : I Ketut Puje Astawa, S.Ag; Patajuh Palemahan : Ir. I Ketut Adhimastra, M.Erg; Kasinoman: I Made Suardana, SE

Om Santhi, santhi, santhi Om

Minggu, 28 Maret 2010

Foto Parum 26 Maret









Ring raina Sukra, 26 Maret 2010 wengine magenah ring wantilan Pura Dalem Pakerisan kamargiang babaosan indik pidabdab nyanggra karya ring Pura Dalem Pakerisan, babaosan puniki manut sakadi sewala patra Nomor : 12/III/Bend/2010 Babaosane mamargi trepti lan ngamolihang petias-petias sane becik jaga kaanggen nuntun ngalaksanayang Karya Ngenteg Linggih Wrespati Kalpa Alit ring Pura Dalem Pakerisan.
Foto-foto puniki wantah sane wenten daweg pamargi babaosan ring ajeng.
Keterangan Foto:
  1. Foto 1: Laporan Rencana Sie Upakara/Banten
  2. Foto 2: Laporan Rencana Sie Kesenian
  3. Foto 3, 4, 5 : Laporan Seksi-seksi
  4. Foto 6: Rembug-rembug ring sie kesenian
  5. Foto 7, 8: Laporan Seksi-seksi

Rabu, 24 Maret 2010

Catatan Ngusabha Desa dalam konteks Kekinian

Sumber artikel di bawah ini (klik disini):
Ada banyak kebijaksanaan yang telah diwariskan oleh para penglisir masyarakat Hindu di Bali. Hampir semua bentuk upacara dan berbagai bentuk kesenian yang kini masih bisa dilihat dan dijalani komunitas masyarakat Bali merupakan wujud real dari warisan kebijaksanaan tersebut. Dalam konteks ini, upacara Ngusabha menjadi hal yang patut direnungkan di tengah perubahan pola pikir masyarakat Bali. Sebab, dalam upacara itu terkandung makna ucapan terima kasih kepada Hyang Widhi Wasa atas karunia-Nya. Belakangan ini, upacara Ngusabha itu terkesan serimonial dan lebih menonjolkan nilai-nilai estetika ketimbang nilai filosofinya. Nilai apa yang dapat kita petik dari upacara Ngusabha dalam konteks kekinian?


============================================
Menurut dosen sejarah Fakultas Sastra Unud Drs. Nyoman Wijaya, M.Si., salah satu kebijaksanaan telah diwariskan dalam kaitannya dengan aplikasi dari konsep pelestarian alam adalah apa yang disebut ngusabha. Konon ngusabha, kata Wijaya berasal, dari kata ''sabha'' berarti pertemuan. Maksudnya pertemuan antara manusia dan para Batara yang menangani masalah keduniawian.

Hal senada dikatakan Kepala Kantor Depag Kabupaten Badung Drs. IB Wijaya Kusuma. Ia mengatakan, dalam masyarakat Hindu di seluruh Bali, dikenal ada dua upacara ngusabha yakni Ngusabha Desa dan Ngusabha Nini. Kedua ngusabha ini memiliki makna yang sama, hanya tempat pemujaannya yang berbeda. ''Kalau Ngusabha Desa ada pada tingkatan wilayah desa, sedangkan Ngusabha Nini ada pada tingkatan wilayah sawah,'' katanya. Selain perbedaan tempat, wujud stana Dewi Sri juga memiliki perbedaan. Kalau pada Ngusaba Desa menggunakan berbagi buah-buahan, sedangkan pada Ngusabha Nini memakai seikat padi.

Menurut mantan Ketua PHDI Bali ini, berdasarkan beberapa lontar seperti Dharma Pemaculan, Sri Purana Tatawa dan Dewa Tatwa, pelaksanaan upacara Ngusabha dilakukan tiap tahun sekali. Tujuannya sebagai sarana pemahayu jagat, wujud rasa syukur dan juga untuk menghindarkan masyarakat dari segala marabahaya. ''Tetapi pada kenyataannya upacara ngusabha ini lebih banyak dilaksanakan dalam sepuluh tahun sekali,'' kata Kusuma.

Upacara ini bisa dilaksanakan dalam jangka waktu 4, 6 atau 8 tahun. Semuanya tergantung dari situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat yang bersangkutan. Kalau di desa tersebut terjadi banyak sekali peristiwa yang bisa membuat leteh, terjadi bencana alam atau kejadian-kejadian lainnya, maka upacara ngusabha akan digelar.

Wijaya menambahkan, upacara Ngusabha Nini, yang berpusat di Pura Ulun Carik tempat Dewi Sri -- sakti Dewa Wisnu berstana -- petani tidak sekadar meminta perlindungan, akan tetapi juga mengucapkan terima kasih melalui suatu ''perjamuan'' yang dilengkapi sesajen dengan simbolnya masing-masing.

Boleh jadi tradisi ini sudah dikenal sejak manusia tidak lagi hidup berpindah-pindah. Masyarakat sudah membuka sawah ladang, yang diberikan makna sesuai konsep Hindu, bahwa manusia dengan sang pencipta merupakan satu-kesatuan. Manusia tunduk pada alam. Alam memberikan perlindungan, dan dilindungi oleh manusia. Karena alam yang sedang dilindungi adalah alam persawahan, penyelenggaranya secara niskala adalah Batara di Ulun Carik, dan secara sekala adalah klian subak beserta perangkat dan anggotanya.

Dalam konteks masa kini, kata Wijaya, pertemuan tersebut mencerminkan adanya momentum ketika manusia sebagai makhluk sosial dengan segala keterbatasannya ''berkomunikasi'' dengan kekuatan di atasnya, yang tidak terjangkau oleh akal dan daya fisik. Kekuatan itu diyakini telah memberikan perlindungan dan pengayoman dalam mengarungi kehidupan, terutama dalam hubungannya dengan kelahiran, kehidupan, dan kematian.

Dialektika kehidupan ini, haruslah harmonis. Artinya manusia dapat dilahirkan dengan selamat, tumbuh dan berkembang secara wajar, dan kematian. Itu berlangsung secara alami atas kehendak para dewa, bukan karena dibantai atau gerubug, gering karena penyakit menular yang muncul secara serentak atau kesalahan teknik dalam mengelola persawahan. Jika sesuatu telah berlangsung harmonis, tak perlu lagi diadakan pertemuan dengan para dewa, sebab tak ada bahan yang dapat dijadikan keluhan atau laporan.

Kenyataannya, keharmonisan sering kali hanya berada dalam angan-angan. Ketika manusia membayangkan dirinya akan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, tiba-tiba saja muncul banyak rintangan pada pengadaan pangan. Misalnya, gangguan alam, binatang, dan hama tanaman padi. Di masa kini, gangguan lebih banyak muncul karena keserakahan. Terjadi penebangan hutan, pencurian batu kali, dan pengalihan fungsi tanah atas dasar kepentingan komersial belaka. Keserakahan kemudian menimbulkan kerusakan alam, seperti banjir dan tanah longsor.

Siapa pun yang mengalami hal itu akan kelabakan. Di zaman dulu orang-orang Bali-Hindu mengatasi kebingungan ini dengan cara meminta perlindungan dari para dewa. Dalam hal ini diwakili oleh Dewi Sri, perwujudan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam bentuk cinta kasih kesuburan. Masih perlukah hal yang serupa dilakukan oleh orang-orang Bali modern yang sudah jelas-jelas menuai bencana melalui keserakahannya? Akankah Ngusabha Nini mengandung daya efektivitas jika persoalannya sudah sesemrawut itu.

Lahan Sawah Tergiring

Makna apa yang dapat kita petik dari esensi upacara Ngusabha itu? Menurut Nyoman Wijaya, ketika kearifan Dewi Sri telah digantikan oleh dewi teknologi dan lahan sawah sudah tergiring -- dikapling menjadi lahan industri pariwisata -- masih perlukah upacara Ngusabha Nini? Secara real, akan terjadi penyederhanaan. Tidak lagi serumit dulu. Tampaknya, orang Bali-Hindu masih belum bisa melepaskannya, apalagi membuang upacara ini. Upacara ini telah menjadi bagian dari masyarakat dan kebudayaan Bali, terutama dalam hubungannya dengan upaya pelestarian hubungan antara manusia dengan sang pencipta, alam, dan sesamanya.

Upacara seperti ini telah menjadi ajang pertemuan, tempat manusia saling bisa berinteraksi. Di sisi lain akan timbul juga permasalahan baru, terutama bagi para urban yang hidup di sektor jasa. Tidak lagi dalam pola agraris, namun secara fisik tetap berhubungan dengan masyarakat asalnya. Kenapa? Masyarkat masih memiliki dan terikat dengan desa adatnya. Akankah kita bisa memisahkan antara ngusabha untuk kepentingan pertanian dan untuk kesejahteraan desa? Bisakah seseorang yang tidak lagi sebagai petani dan anggota subak tidak aktif dalam upacara Ngusabha Nini.

Dalam Paruman Sulinggih PHDI Bali, kata Wijaya Kusuma yang juga mantan Ketua Harian PHDI Bali ini, kenyataannya banyak lahan pertanian yang beralih fungsi dan berakibat pada ditinggalkannya pura subak menjadi salah satu pembahasan penting. Para sulinggih pada saat itu mengimbau agar pura subak tersebut jangan di-pralina, tetapi dilanjutkan pengelolaannya oleh masyarakat Hindu yang masih ada di sekitarnya.

Dasar yang bisa dipakai, kata Wijaya Kusuma, pemujaan terhadap Dewi Sri sebagai dewa padi, pasti tetap menjadi hal penting bagi tiap orang. ''Bagaimana pun tiap manusia pasti membutuhkan beras sebagai makanan pokoknya dan ini bisa digunakan dasar bahwa mereka pun tetap akan memuja Dewi Sri yang distanakan di pura subak tersebut,'' kata Kusuma. Ditambahkan, kalau di sekitar pura subak tersebut tidak ada lagi umat Hindu, memang sebaiknya pura tersebut di-pralina.

Bagaimana menempatkan konsep ngusabha dalam konteks masa kini? Menurut Nyoman Wijaya, di tengah-tengah kemajuan peradaban ini, perlu kiranya menempatkan konsep upacara Ngusabha Nini dalam interpretasi masa kini. Konsep ngusabha telah mengajarkan, sesuatu tidak dapat digerakkan, jika tidak dikaitkan dengan mekanisme dan sistem. Para dewa tidak mampu melaksanakan misinya, jika tidak ada manusia. Dalam hal ini para petani, sebagai pihak yang mengerjakan, dan mengolah lahan.

Sebaliknya, petani tidak akan mampu membuat sesuatu tanpa keyakinan spiritual. Di sini ada sesuatu kekuatan yang telah mengendalikan kehidupan, sekalipun samar-samar kekuatan itu telah terwujud dalam perangkat teknologi. Konsep ini telah mengajarkan semacam sistem kabinet kerja. Segala sesuatu hanya akan bisa dilakukan jika sudah berada dalam suatu koridor kerja sama antara berbagai bidang, semacam pendekatan holistik untuk memecahkan dan menganalisis suatu masalah. Berdasarkan hal itu, sesuai dengan kepentingan masa kini, konsep ngusabha harus diberikan interpretasi baru, sebagai suatu pendekatan baru dalam memecahkan persoalan, keagrarian, terutama persawahan.

Dikatakan, kemajuan sektor industri pariwisata di Bali, tidak akan ada artinya jika tidak ditopang oleh penataan sektor agraris persawahan. Industri pariwisata harus dibangun atau didasari oleh penataan alam persawahan yang bagus, dan ini tantangan berat yang sedang dihadapi oleh Bali. Artinya, di satu sisi dia harus mampu membuat suatu paket pariwisata yang bagus, tanpa merusak alam. Padahal ada kecenderungan pariwisata selalu menggerus alam. Kalau sudah demikian, berarti persoalan persawahan di Bali, sudah saatnya tidak lagi ditangani oleh perangkat subak semata. Kepala pemerintahan tentunya Dinas Pariwisata harus dilibatkan sesuai konsep Ngusabha Nini yang melibatkan banyak dewa dan manusia. (win/sut)

Balipost 23 Januari 2002

ULEMAN

Pedungan, 22 Maret 2010


Nomor : 12/III/Bend/2010

Lamp : -

Indik : Uleman

Keatur ring Dane sane Kawangiang

.........................................................

Ring Pedungan


Om Swastyastu,
Ngelanturang hasil paruman duk tanggal 21 Maret 2010, sane kalaksanayang ring wantilan Pura Desa maosan indik pidabdab nyanggra karya ring Pura Dalem Pakerisan, titiang manggalaning Desa Pakraman Nunas keledangan Ida/Dane mangde presida rauh ring paruman sane jage kamargiang nemonin:
Rahina/pinanggal: Sukra, 26 Maret 2010
Galah : pukul 19.30 wita
Genah : Ring Pura dalem Pakerisan
Busana : Adat
Inggih wanta sekadi punika pinunas titiang, antuk uratian lan sengengrauh Ida/Dane tan lali titiang ngaturan suksmaning manah.
Om Santih, santih, santih om

Prajuru Desa Pakraman Pedungan

Bendesa



Drs. I Nyoman Sumantra


Penyarikan



Drs. I Gusti Putu Loka


Banyaknya jenis-jenis karya Ngusabha

Artikel ini memberikan kita penyadaran akan betapa luasnya lautan kehidupan beryadnya di Bali. Sebut saja salah satunya tentang Ngusabha, ternyata istilah ngusabha berakaitan dengan berbgai istilah lagi dibelakang kata ngusabha seperti: Ngusabha daa Walung, Ngusabha Dangsil, Ngusabha Mamedi, Ngusabha Taluh, Ngusabha Guling, Ngusabha Perahu, Ngusabha Buyung, Ngusabha Emping, Ngusabha Goreng, Ngusabha Dodol, dan banyak lagi yang lainya.
sumber artikel ini diperoleh dari: http://babadbali.com mari kita simak isinya bersama.

Kalau kita simak dan kaji, term persembahan dan pemujaan karya di Pura Dalem Swargan cukup panjang. Sehingga kenyataan seperti ini, sering menjadi pertanyaan sementara intelektuan di masyarakat. Upacara yang mana yang merupakan point pokok goals persembahan dan pemujaan yang dilaksanakan? Seperti halnya persembahan dan pemujaan Karya Mamungkah, Ngenteg Linggih, Tawur Agung, Mapedanan, mwang Panyegjeg Jagat itu?

Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan Buku kecil ini secara sepintas, pertanyaan seperti itu tak mesti dan tak perlu dikemukakan. Apa sebab? karena kalau disimak dan dikaji sesuai aspek-aspek tuntunan ajaran filsafat (tattwa), tata susila, upacara dan upakara, yang merupakan tiga kerangka agama Hindu, termasuk aspek fungsi dan goals nyasa-nya, sebenarnya adalah merupakan satu paket, untuk mencapai goals yang utuh, sakala dan niskala.
Salah satu aspek kegiatan ngupahayu Pura Dalem Swargan, seperti telah dikemukakan, jajar kemiri unsur dan struktur•baru selesai dipugar. Semua bangunan yang baru selesai di pugar, masih berstatus dan berkedudukan sebagai tawulan (bangken kayu, bangken tiying, bangken duk, bangken semen, bangken batu, dan sebagainya). Sehingga patut dilaksanakan pamayuh sane pepek, seperti tuntunan Lontar Tingkahing Mamungkah Parhyangan, agar semua unsur dan struktur palinggih Pura Dalem Swargan kembali berfungsi dan berkedudukan seutuhnya sebagai bahwa maurip, sebagai bangunan suci, tempat memuja dan memuliakan Hyang Widhi dalam berbagai prabhawa dan istadewata. Petikan Lontar Tingkahing mamungkah parhyangan, kepatutan untuk melaksanakan pamayuh dane pepek, adalah sebagai berikut:

nihan tingkahing mamungkah parhyangan sane anut sami ring rajapurana sane kagawa sira mpu kuturan, sami kapepekang pamayuhe sami maring bali, ika bau. Samangkana elingakno tuturanya sane tuturanya sane munggah ring rajapurana mwah usana bali, sami pepekang palinggihe bhatara - bhatari.

terjemahannya berart

Inilah tuntunan membangun, (Penulis termasuk memugar) Parhyangan (Pura, tempat suci palinggih widhi, dalam berbagai wujud istadewatanya), yang semuanya patut selaras dengan Rajapurana yang dibawa (ditulis) oleh Mpu Kuturan, semuanya harus dilengkapi upacaranya di Bali ini. Demikian patut selalu diingat berdasarkan tuntunan yang ditulis dalam rajapurana dan usana bali, semuanya dilengkapi palinggih (Shtana) bhetara-bhatari.


Kalau kita kaji dan analisis tuntunan Lontar Tingkahing Mamungkah parhyangan yang telah dikemukakan dalam petikannya, bahwa setelah selesai membangun, (memugar) semua palinggih bhatara - bhatari, harus dilaksanakan upacara Mamungkah dengan upacara yang lengkap. Term mamungkah itu memiliki arti leksikal dan konotasi, yang berarti bahwa persembahan dan pemujaan karya dilaksanakan adalah merupakan awal atau baru pertama kalinya sejak Pura itu di bangun. Demikian pula kalau pura itu baru selesai di pugar, pelaksanaan upacara mamungkah adalah yang pertama kalinya sejak bangunan pelinggih pura itu selesai di pugar. Demikian di duga asal-usul term karya mamungkah itu, yang rupanya diambil dari term Lontar Indik, Tingkahing Mamungkah Parhyangan, yang dibawa (ditulis) oleh ; Shri Empu Kuturan.
Sebenarnya, ada rangkaian upacara Mamungkah itu lagi, yakni upacara Bhutayajna, berwujud persembahan dan pemujaan tawur, yang memiliki goals untuk mamarisudha atau menyucikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta (Apah, Prthwi, Bayu, Teja, Akasa), kawasan Tri Mandala, (Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala). Palebahan pura yang baru selesai dibangun ataupun dipugar. Sedangkan untuk mamarisudha dan menyucikan, sampai memberikan mana (kekuatan) semua jajar kamiri palinggih yang baru selesai dibangun atau selesai dipugar adalah upacara Pamelaspas, dengan pangurip-uripnya, termasuk mapulang padagingan, sehingga semua bangunan palinggih setelah rangkaian upacara itu, manggeh makadi bhawa maurip. Dalam pelaksanaan karya agung Mamungkah rangkaian upacara Bhuta Yajna, pamelasapas dengan pangurip-uripnya, mapulang (mamendem) pedagingan ini adalah yang merupakan pangupahayu, mensahkan secara sepiritual jajaran bangunan palinggih suatu Pura telah berkedudukan sebagai bhawa tidak lagi berupa tawulan, tetapi telah utuh sebagai palinggih, tempat suci, wajar sebagai sthana (parhyangan) widhi, dalam berbagai wujud prabhawa atau isthadewatannya.
Rangkaian upacara selanjutnya, adalah upacara melelasti, yang goals filosofisnya, adalah ; " nganyudang malaning gumi, angamet amertha, ring telengin segara ". Seperti yang dikemukakan dalam Lontar Sundarigama. Rauh Ida Bhatara dari malelasti, barulah disthanakan di palinggih yang suci dan sebagai bhawa maurip, yang telah utuh dan wajar sebagai parhyangan Ida bhatara - bhatari samodaya. Setelah itu, rangkaian upacara selanjutnya adalah upacara Ngeteg Linggih, agar Ida bhatara-bhatari Samodaya, entek malinggih di semua palinggih yang telah suci, dan berkedudukan sebagai bhwa maurip, yang secara sepiritual telah memiliki mana, kekuatan dan jiwa, setelah dilaksanakan Upacara Pamelaspas, dengan pangurip-urip dan Mapulang (Mamendem ) padagingan.
Pada saat dilaksanakan Upacara Ngenteg Linggih, kemudian dibarengi dengan persembahan upakara Pujawali (Pawedalan). Karena pada umumnya, hari subhadiwasa Upacara Mamungkah itu, selalu digunakan sebagai patok rahina subhadiwasa tegak pawedalan, (pujawali, patirthan). untuk selanjutnya. Kalau baru selesai memugar, pun kemudian, padara waktu akan melaksanakan Upacara Mamungkah, Pamelasapas, Ngenteg Linggih dan seterusnya, pada umumnya selalu memilih rahina subhadiwasa tegak pawedalan, (pujawali, patirthan) pura-pura yang bersangkutan.
Setelah Ida Bhatara - bhatari Samodaya enteg malinggih di jajar kamiri palinggih pura bersangkutan, baru dilaksanakan Upacara Ida Bhatara Tedun ke Bale Paselang dan Upacara Mapedanan. Kedua Upacara ini mengandung bobot filosofis dan ajaran tattwa yang dalam, walau pun proses pelaksanaan dan termnya cenderung bersifat logic dan pemikiran anwiksaki. Bobot filosofis Upacara Ida Bhatara Tedun ke Bale Paselang, adalah selaras dengan filsafat adisrsti, (ciptaan mulia), Hyang Widhi pada saat Tedun ke Bale Paselang, adalah dalam prabhawa atau istadewata Dewa Smara, dengan shaktinya Ratih Dewi, Dewa dan Dewi Cinta Kasih. Di samping upacara Ida Bhatara Tedun ke Bale Paselang itu, memiliki bobot filsafat adisrsti (ciptaan mulia), dengan ciptaan alam raya (macrocosmos) ini dengan segenap isinya, sehingga umat manusia yang juga ciptaan Hyang Widhi menjadi makmur dan sejahtera, itulah wujud cinta kasih Hyang Widhi, yang nyasa - kan oleh Dewa Smara dan Ratih Dewi, Dewa Cinta Kasih itu. Cinta kasih Hyang Widhi kepada semua makhluk hidup, terutama umat manusia, adalah berbagai ciptaan mulia (adisrsti), yang dapat memakmurkan, mensejahterakan, dan membahagiakan umat manusia. (Simak pembacaan teks pajejiwan) saat majejiwan di Bale Paselang. Dalam teks pajejiwan itu jelas sekali diungkapkan adisrsti (ciptaan mulia) Hyang Widhi, nresti alam raya ini dengan komponen - komponennya, sehingga umat manusia dan makhluk lainnya manjadi makmur, sejahtera dan bahagia dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini.
Dalam teks pajejiwan itu, di samping Hyang Widhi menciptakan alam raya ini dengan langit, matahari, bulan dan bintang, juga diciptakan gunung, danau, sungai dan segara (laut). Termasuk menciptakan taru, lata, gulma, sthawara dan jenggama. Dan berbagai ciptaan mulia (adisrsti) lainnya. Satu sisi lainnya, Upacara Ida Bhatara Tedun ke Bale Paselang, adalah nyasa bertemunya Bhakti kalawan Asih. Artinya bhakti umat manusia yang mempersembahkan bangunan palinggih (pura-pura) dengan tata upacaranya kahadapan Hyang Widhi, lalu Hyang Widhi dengan welas asihnya, menganugerahkan adisrsti (ciptaan mulia) seperti yang diungkapkan dalam naskah atau teks pajejiwan, yang dibaca di Bale Paselang sebagai rangkaian Upacara Ida Bhatara Tedun ke Bale Paselang. Welas asih, cinta kasih Hyang Widhi, di nyasa-kan dengan arcanam atau dewawigraha dalam wujud Dewa Smara dengan shaktinya Ratih Dewi, Dewa dan Dewi Cinta Kasih itu.

Lebih konkrit lagi, konsep nyasa anugrah Hyang Widhi kepada umat manusia, adalah Upacara Mapedanan itu. Sarana anugrah Hyang Widhi dalam eteh-eteh upakara paselang itu, adalah berbagai sarana kebutuhan hidup dalam keseharian, Ada alat-alat dapur, alat -alat pertanian, alat-alat Undagi dan Sangging, dan lain - lainnya yang mengandung unsur-unsur Tribhoga, (bhoga, upabhoga, dan tribhoga). Yang kalau pemujaan oleh Wiku Pamuput telah usai, semua umat manusia berebutan untuk mendapatkan anugrah Hyang Widhi, yang merupakan eteh-eteh perlengkapan di Bale Pedanan itu. Memang demikian kenyataanya, diakui atau tidak, umat manusia dalam hidup dan kehidupan umat manusia, selalu memperebutkan unsur-unsur Tribhoga yang telah dikemukakan, guna dapat menikmati kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan, lahir dan bathin, skala dan niskala. Hanya perlu diingat dalam usaha untuk mendapatkan unsur-unsur Tribhoga itu, harus selalu di usahakan agar tetap berlandaskan sanatana dharma, sehingga sanata jagathita, kemakmuran, kesejahteraan dan kedamaian betul-betul dapat dinikmati secara sakala dan niskala dalam hidup dan kehidupan.
Demikian untuk mencapai tujuan hidup dan kehidupan yang telah dikemukakan, umat manusia terus memohon anugrah kehadapan Hyang Widhi, apa yang dianugrahkan berdasarkan nilai filosofis, nyasa agar tetap konsisten, (jejer, jegjeg), sehingga umat manusia pun tetap jejer, jegjeg menuaikan tugas-tugas hidup dan kehidupannya, sesuai dengan yoni dan gunakarma masing-masing, sehingga keharmonisan sakala dan niskala tetap konsisten atau jejer, jegjeg pula. Untuk mendapatkan anugerah konsisten , jejer, jegjeg inilah secara gampangan saja agar masyarakat umat lebih mudah berpikir dan menjadi mengerti secara anwiksaki, dirangkaikan pula Upacara Penyegjeg Bhumi agar bhumi atau bhawana konsisten dan jegjeg. Baik Bhwana Agung (Macrocsmos) atau Alam Raya ini, maupun Bhwana Alit (Microcosmos), yang tiada lain adalah umat manusia sendiri, baik selaku individu maupun secara kelompok (mulai dari Keluarga Batih, Keluarga Besar, Kelompok tertentu mulai dari Krama banjar, Krama Desa Adat), agar selalu konsisten, jegjeg makta pakayun, ngamedalang bawos miwah ritatkala masolah mapraweti, sehingga terwujud dan tercipta serta tercapai hidup dan kehidupan santa jagathita, sakala dan niskala.
Rangkaian selanjutnya, adalah Ida Bhatara Nyejer, selama Ida Bhatara Nyejer ini, patut ada persembahan bhakti panganyar, dan Aci panyabaran. Rangkaian (aed ) persembahan dan pemujaan Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Tawur, Mapedanan mwang Panyegjeg Bhumi, seperti yang dipersembahkan di Pura Dalem Swargan, setelah persembahan dan pemujaan adining karya (puncak karya), rangkaian selanjutnya akan dilaksanakan rangkaian aed) karya seperti Ngremakin, Mabangun Ayu, Ngebekin, Ngingkup, Nyenuk, Nyineb dan terakhir Nyegara-Gunung, sebagai perwujudan rasa angayubagya kehadapan Dewa Siwa dan Parwati Dewi, sebagai sakti Dewa Siwa . Karena dalam konsep siwaistis, terutama Siwa Sidhanta, Siwa sebagai Widhi, di nyasa - oleh gunung, sebagai Lingga Acala, (lingga yang tak bergerak) . Sedangkan yoninya adalah Sagara (Lautan).
Kembali kepada konsep filsafat adisrsti (ciptaan mulia), berkat anugerah hasil-hasil Gunung dan Laut, dalam artian luas, sebagai nyasa Lingga - Yoni, perwujudan Siwa - Parwati itu, pelaksanaan persembahan dan pemujaan Karya Agung yang elaborate itu, dapat berjalan lancar, tak kurang suatu apapun, sehingga secara sakala dapat mencapai sidaning don (berhasil). Perlu dikemukakan, keberhasilan secara sakala, adalah merupakan awal perjalanan rangkaian (aed) persembahan dan pemujaan yajna, untuk mencapai sidaning don ( keberhasilan) niskala. Asal tetap dilandasi oleh etik, dan sikap serta prilaku yang nekengtwas.
Apa yang telah dikemukakan dalam kontektual rangkaian (aed) persembahan dan pemujaan yajna di Pura Dalem Swargan, dengan menggunakan sekilas konsep ajaran filosofis dan maknawi nyasanya, walaupun sering digunakan term yang panjang, sehingga menjadi bahan pertanyaan oleh sementara intelektual, pada dasarnya term yang panjang itu, kenyataanya adalah merupakan satu paket upacara. Permasalahan term yang panjang itu adalah merupakan bias dari behavior customary, normative behavior , cultural behavior , behaviour patterning religious dan, polos Bali, yang diungkapkan dalam penghayatan dan pelaksanaan hidup keagamaan secara immanet tetapi selaras dan memiliki titik temu dengan pengerasa agama, masing-masing . Sehingga merupakan kenyataan bagi masyarakat umat Hindu pada umumnya, di Lingkungan Desa Adat masing-masing pada saat melakukan yajna, sebagai pengejawantahan ajaran sradha dan bhakti, lebih didominir oleh pengrasa agama, untuk memperdalam keyakinan mereka, pada saat melakukan yajna itu Toh menurut pemikiran mereka yang mapaica indik adalah para Wiku, sebagai Adiguru Loka dan Wiku pamuput. Sehingga dari kajian dan analisis pemikiran ini, kita ketahui, bahwa dalam kontekstual ke arah peningkatan sradha dan bhakti, dasar keyakinan yang dimulai dari pangrasa agama itu akan merupakan jalan awal untuk keberhasilan menunaikan swadharma agama selanjutnya. (bandingkan dengan Ekalawya, Raja Nisada, yang berguru dan belajar memanah, dalam Mahabaratha ).
Sehingga dengan demikian, rasanya tidak perlu di permasalahkan lagi term yajna yang dianggap panjang-panjang, yang mana diantara term yang panjang itu, merupakan upacara inti, untuk mencapai goals apa?
Biarkanlah perkembangan diproses oleh rta (rtta), hukum alam yang mesti terjadi, dan tidak kekuatan apa pun di dunia ini yang mampu membatalkan rta itu siapa pula yang akan dapat membalik jalanya matahari dari Barat ke Timur?. Siapa saja tidak. Selaras dengan rta (hukum alam yang abadi itu), tetap saja matahari terbit di ufuk timur, bejalan ke barat, dan terbenam di ufuk Barat.
Apa yang penulis kemukakan, tidak dikandung maksud untuk menjadi pasrah saja, membiarkan masyarakat umat hanya menuai ajaran agama Hindu, berdasarkan pengerasa agama saja? Sekali-kali tidak. Tetapi harus dilaksanakan perubahan, yang mengarah kepada usaha peningkatan sradha, bhakti, punya, asih. Tetapi melalui proses. Kalau tidak demikian, akan menimbulkan berbagai bentuk dan jenis permasalahan . Jangan lupa kepada normative behavior , customary behavior , cultural behavior dan behavior patterning, saat melaksanakan yajna. Contoh yang kongkrit saja adalah dalam behavior patterning, dalam pelaksanaan persembahan dan pemujaan yajna tertentu berlaku pola Pelaku Yajna, yang disebut Sang Tipini Manggaleng Yajna. Termasuk pula dengan adanya pola fungsionaris tertentu yang boleh atau tidak untuk melakukan suatu aktivitas dalam persembahan dan pemujaan yajna tingkat tertentu . Inilah yang kita maksudkan kalau dipaksakan akan menimbulkan permasalahan dalam pembinaan agama. Bahkan bukti dari adanya opini-opini keagamaan yang kurang selaras. dengan behavior normative, behavior cutomary dan behavior pattering serta behavior cultural masyarakat Bali di lingkungan desa Adat masing-masing, di kalangan masyarakat yang setengah intelek, dan ucapan seperti ini: Ah , ketahuilah agama yang diomongkan di Seminar, Loka Karya, Workshop, Panel Diskusi, dan sejenisnya, akan berbeda dengan kenyataan, dalam praktek persembahan dan pemujaan, dalam usaha mengejawantahkan ajaran sradha dan bhakti, dilingkungan Desa-desa Adat di Bali.
Memang ada ungkapan nyata yang terbukti dari beberapa intelektual, bahwa bagi masyarakat umat Hindu di Bali, belajar dan bicara agama adalah sulit. Tetapi mempraktekan ajaran agama sebagai pengejawantahan sradha dan bhakti adalah mudah. Dalam kegiatan ngayah di pura-pura di Bali, penulis sering memperhatikan, wanita Bali yang buta huruf pun sudah dapat nanding Pabangkit dan pulagembal. Nyorohang unsur dan struktur jajan pabangkit dan pulagembal menurut dan strukturnya, wanita Bali yang buta huruf ini, tidak ragu-ragu, pas dan cekatan mereka mengerjakan . Pertanda dia telah tahu benar menata jajan pambangkit dan pulagembal itu . Sehingga tampak tatandingan pabangkit dan pulagembal yang pas, elaborate dan menarik.
Tetapi jangan coba-coba bertanya kepada wanita itu, bagaimana filsafat dan nyasa pabangkit dan pulagembal itu. Kalau ditanya, dia akan menjawab tidak tahu . Memang benarbenar tidak tahu. Walaupun kalau nama, nanding dan nyorohang tatandingan pabangkit dan pulagembal itu, dia tahu benar. Seperti itulah fakta kalau ngomong tentang pembangkit dan pulagembal sulit bagi kebanyakan wanita Bali, tetapi kalau nanding dan nyorohang pabangkit dan pulagembal banyak wanita Bali yang tahu mengerjakannya. Padahal seperti telah dikemukakan, pambangkit, yang merupakan nyasa Dewi Durgha dan pulagembal yang merupakan nyasa Dewa Ganesya, memiliki konsep filsafat yang tinggi, yang bersumber dari siwa purana (pura puranic), dan termasuk dari kakawin smaradahana, yang mengemukakan konsep Dewa Ganesya, sebagai Dewa awighneswara, sebagai Dewa penghalang segala rintangan. Termasuk kalau kita meniti sumber Lontar Siwagama, akan terungkap konsep ajaran filsafat (tattwa ), dan ajaran nyasa yang tinggi, tentang penyucian Sang Hyang Panca Korsika, mamineh empehan lembu, dan kapatutan menggunakan madu parka, sebagai unsur eteh-eteh upakara, dalam pelaksanaan persembahan dan pemujaan karya atau yajna yang tingkatanya lebih besar dan utama.
Seyogyanya para intelektual konsep-konsep ajaran filsafat, nyasa, etika, arcanam dan dewawigaraha yang berwujud upakara atau babantenan inilah yang seyogyanya dipakai objek study dan penelitian, dengan sistem dan methoda ilmiah yang lazim digunakan dalam study dan penelitian ilmu-ilmu sosial, sehingga didapatkan intisari konsep ajaran filsafat, etika, nyasa, arcanam dan dewawigraha, dalam berbagai wujud dan bentuk upakara (banten), sebagai sadhana bhakti dalam persembahan dan pemujaan karya dan yajna, dilingkungan Desa-desa Adat di Bali . Jangan buru-buru memvonis bahwa pelaksanaan yajna di Bali kurang pas dengan Weda . Atau dengan kata lain seyogyanya para intelektual yang membidanginya menggunakan pisau pembedah ilmiahnya untuk membedah aspek-aspek konsep filsafat, etika, nyasa, arcanam dan dewawigraha dalam berbagai wujud dan bentuk upakara ( banten) itu. Sehingga dapat dirumuskan berupa buah pikiran yang basic dan memiliki titik temu dari berbagai konsep pelaksanaan tata upacara dengan berbagai bentuk dan jenis upakara sebagai sadhana bhaktinya, dengan ajaran Weda.

Kalau sistem dan methoda pendekatan tidak diupayakan seperti itu, akan dapat menimbulkan permasalahanpermasalahan yang berupa konflik di masyarakat. Contohnya kalau kita menyimak dan melakukan pengamatan berbagai jenis Upacara-upacara Ngusabha di Kabupaten Karangasem, seperti Ngusabha daa Walung, Ngusabha Dangsil, Ngusabha Mamedi, Ngusabha Taluh, Ngusabha Guling, Ngusabha Perahu, Ngusabha Buyung, Ngusabha Emping, Ngusabha Goreng, Ngusabha Dodol, dan banyak lagi yang lainya. Dan khusus di Pura Agung Besakih, banyak sekali jenis upacara Ngusabha, dalam kurun waktu setahun, yang rahina subhadiwasanya bedasarkan hari Purnama - Tilem, yang diakhiri dengan Karya Bhatara Turun Kabeh, yang populer disebutkan Ngusabha Kadasa di Pura Panataran Agung.
Rangkaian upacara Ngusabha di beberapa palebahan kompleks Pura Agung Besakih, berdasarkan hari Purnama - Tilem dalam kurun waktu setahun, adalah sebagai berikut:

  1. Ngusabha Kapat, yang dilaksanakan pada waktu sasih kapat, (Usabha Karttika ), di Pura penataran Agung.
  2. Ngusabha Siram, dilaksanakan pada waktu Sasih kalima, (Usabha Margasirsa ) di Pura Batumadeg.
  3. Ngusabha Paneman, dilaksanakan pada waktu Sasih Kaenem, (Usabha Posya), di Pura Bangun Shakti.
  4. Ngusabha Gede, dilaksanakan pada waktu Sasih Kapitu, (Usabha Magha), di Pura Dalem Puri.
  5. Ngusabha Nyungsung, dilaksanakan pada Sasih Kapitu, (Usabha Magah), (dilaksanakan tiga hari kemudian, setelah persembahan dan pemujaan Ngusabha Gede, di Pura Dalem Puri), di Pura Kiduling Kreteg.
  6. Ngusabha Buluh, dilaksanakan pada waktu Sasih Kapitu, atau hampir mendekati sasih kawulu, tiga hari kemudian setelah pelaksanaan persembahan dan pemujaan Ngusabha Nyungsung, di Pura Kidulung Kreteg. Sehingga Ngusabha Buluh ini yang persembahan dan pemujaannya di laksanakan di Pura banua, juga tergolong diantara Ushaba Magha dan Usabha Phalguna.
  7. Ngusabha Ngaed, dilaksanakan pada waktu Hari Purnamaning Kapitu di Pura Banua lagi. Sehingga juga sasih tergolong persembahan dan pemujaan Usabha Magha.

Ngusabha Kadasa, yang dilaksanakan bertepatan dengan Hari Purnamaning Kadasa, (Usabha Wesaka), di Pura Penataran Agung. Usabha Kadasa atau Karya Bhatara Turun Kabeh di Pura Penataran Agung Besakih inilah yang merupakan ending pelaksanaan persembahan dan pemujaan pengusabhan di seluruh kompleks Pura Agung Besakih .
Kalau kita kaji dan analisis, dari term persembahan pangusabhan pada umumnya, berasal dari kata ; utsava (sansekerta ), yang berarti: pesta. Kalau kita meniti kembali arti kata utsava atau usabha itu dalam kontekstual pelaksanaan pangusabhan, tampaknya memiliki titik temu. Seperti halnya Ngusabha Kadasa di pura penataran Agung Besakih, pada akhirnya (ending) pelaksanaan persembahan dan pemujaan seluruh pangusabhan di kompleks pura - pura Besakih, pada dasarnya adalah merupakan pesta juga, karena seluruh Dewa dan Dewi yang berparhyangan di kompleks pura - pura di pura Agung Besakih, pada saat dipersembahkan Karya Ngusabha Kadasa, disthanakan di Bale pasamuhan pura penataran Agung Besakih, untuk amukti bhakti pangusabhan. Karena kenyataan seperti inilah sehingga upacara usabha kadasa di pura penataran Agung Besakih, Dewa dan Dewi Samodaya yang berparhyangan di seluruh kompleks pura Agung Besakih, semua di isthanakan di bale pasamuhan pura penataran Agung untuk amukti bhakti pangusabhan, cenderung diartikan dalam ungkapan bahasa domestik Ida Bhatara - Bhatari di Besakih pesta. Dan penghayatan ajaran agama imanent, dengan mengungkapan bahasa domestik itu, kebetulan pas dan memiliki titik temu dengan arti kata ; utsava, atau usabha itu ada pula para cendekiawan yang mengartikan kata utsava atau usaba itu ; pesta sejenis. Kenyataan di lapangan pun, kalau di simak dan dikaji memiliki titik temu pula. Seperti halnya Usabha Guling di Desa Adat Timbrah, natar pura itu penuh dengan persembahan babi guling. Demikian juga pada saat persembahan Usabha Taluh, hampir seluruh pelinggih dipenuhi oleh persembahan Taluh (Telur), sama halnya kalau Usabha Dodol, banten lebih didominir oleh persembahan Dodol. Juga demikian pada waktu Usabha Emping, Usabha Goreng.
Tetapi usabha apa pun bentuk dan jenisnya yang dipersembah kan di pura Agung Besakih, termasuk Ngusabha Desa, Ngusabha nini, di Desa-desa Adat yang memiliki tradisi pangusabhan, seluruh juga memiliki rangkaian pelaksanaan persembahan dan pemujaan Bhutayajna, (dari tingkat Caru sampai Tawur). Kalau ditanyakan, yang mana temanya lebih ditonjolkan, pangusabhan atau Bhutaya Yadnya, yang dari tingkat caru sampai tawur itu? jawabannya, tentu tidak bisa dijawab secara matematis. Karena persembahan dan pemujaan yajna itu merupakan satu rangkain (aed). mungkin kalau gunakan dalam bahasa kekinian, adalah merupakan satu paket.
Sama halnya seperti pelaksanaan Karya Mamungkah, Ngenteg Linggih, Tawur Agung, Mapedanan mwang panyegjeg Bhumi, yang dipersembahkan oleh Krama Desa Adat Kedewatan bersama para pangelingsir, Sesepuh dan perangkat prajuru Adat di pura Dalem Swargan setelah pura itu selesai dipugar, term yang pajang itu kalau ditanyakan, yang mana lebih ditonjolkan? Pamelaspas dan Ngenteg Linggihnya? Tawur Agung dan Mapedanannya, atau Panyegjeg Bhuminya? Jawabannya tidak bisa dijawab secara matematis.
Di samping itu kita harus arif meniti sumber- sumber sosio religius lainnya dalam pelaksanaan tata upacara masyrakat umat Hindu di Bali, yang merupakan hasil kaluluhan antara sosial religius Bali Aga dengan Bali Apanage. Termasuk pula hasil kakuluhan dengan sosio religius Era Tradisi Kecil (prasejarah) sehingga banyak cendikiawan dan peneliti yang mengemukakan bahwa tentang eksistensi kebudayaan pada umumnya dan budaya agama Hindu yang adhiluhung dan adhiluhur, tidak mengenal teori The Missing Link. (seperti mata rantai yang putus), tetapi tetap nyambung sejak Era Tradisi Kecil (prasejarah), sampai zaman sejarah, pada masa Bali Age dan Bali Apanaga, bahkan semakin berkembang pada masa sekarang. Termasuk kita patut arif juga, bahwa sanatana Dharma, yang disebut agama Hindu itu dalam dunia ilmu pengetahuan, ibarat sebuah bola, saat menggelinding ke seluruh dunia, akan dilekati oleh debu-debu budaya lokal, sehingga menyebabkan agama Hindu memiliki budaya agama yang kaya dan elaborate, seperti halnya budaya agama Hindu di Bali, yang karena keelastisan ajaran agama Hindu itu, budaya agama sejak Era Tradisi Kecil, sampai era sejarah (Bali age dan Bali Apanaga ), banyak yang tetap terpelihara, sehingga lebih mengayakan lagi produk budaya agama selanjutnya, sampai era sekarang.
Dan kajian dan analisis yang telah dikemukakan, dalam bagian III tulisan buku kecil ini, dapat kita simpulkan, bahwa kita tidak perlu berpikir matematis dalam menanggapi,
mengkaji, menganalisis term-term agama lokal secara matematis pula, agar tidak menimbulkan permasalahanpermasalahan yang tidak kita harapkan. Biarkan saja pelaksanaan upacara dan yajna di Desa -desa Adat di Bali, berdasarkan adagium desa, kala, agama, atau Nagara Mawa tata dan Desa Mawa Cara. Asal tidak bertentangan dengan konsep ajaran sanatana dharma, yang menurut para Wipra, konon luhuran ring Sang hyang Akasa, mwang daleman ring Sang Hyang Samudra. Luhuran ring Sapta Akasa lagi, dan daleman ring Sapta Samudra pula. Biarkan perubahan -perubahan yang langgeng itu melalui proses, berdasarkan r t a (rita), yang abadi, kebalikan dari perubahan yang langgeng itu. Pengala desalah yang akan menentukan. Seperti telah dikemukakan dalam usaha meningkat sradha dan bhakti, tradisi dan pengrasa agama, dengan sikap dan prilaku nekeng twas, selaku jalan awal untuk mencapai sidaning don, dalam usaha meningkatkan aspek- aspek sradha dan bhakti.