PURWA WACANA

Om Swastiastu,

Desa Pakraman Pedungan memiliki pengurus yang telah di Adiksa Widhi lan Abiseka (dilantik) pada Soma, 19 Desember 2005. Dengan susunan pengurus sebagai berikut: Bendesa : Drs. I Nyoman Sumantra; Penyarikan: Drs. I Gusti Putu Loka; Patengen : Drs. I Wayan Budiasa, M.Si; Patajuh Parhyangan : I Nyoman Jiwa, S.Sos; Patajuh Pawongan : I Ketut Puje Astawa, S.Ag; Patajuh Palemahan : Ir. I Ketut Adhimastra, M.Erg; Kasinoman: I Made Suardana, SE

Om Santhi, santhi, santhi Om

Rabu, 24 Maret 2010

Catatan Ngusabha Desa dalam konteks Kekinian

Sumber artikel di bawah ini (klik disini):
Ada banyak kebijaksanaan yang telah diwariskan oleh para penglisir masyarakat Hindu di Bali. Hampir semua bentuk upacara dan berbagai bentuk kesenian yang kini masih bisa dilihat dan dijalani komunitas masyarakat Bali merupakan wujud real dari warisan kebijaksanaan tersebut. Dalam konteks ini, upacara Ngusabha menjadi hal yang patut direnungkan di tengah perubahan pola pikir masyarakat Bali. Sebab, dalam upacara itu terkandung makna ucapan terima kasih kepada Hyang Widhi Wasa atas karunia-Nya. Belakangan ini, upacara Ngusabha itu terkesan serimonial dan lebih menonjolkan nilai-nilai estetika ketimbang nilai filosofinya. Nilai apa yang dapat kita petik dari upacara Ngusabha dalam konteks kekinian?


============================================
Menurut dosen sejarah Fakultas Sastra Unud Drs. Nyoman Wijaya, M.Si., salah satu kebijaksanaan telah diwariskan dalam kaitannya dengan aplikasi dari konsep pelestarian alam adalah apa yang disebut ngusabha. Konon ngusabha, kata Wijaya berasal, dari kata ''sabha'' berarti pertemuan. Maksudnya pertemuan antara manusia dan para Batara yang menangani masalah keduniawian.

Hal senada dikatakan Kepala Kantor Depag Kabupaten Badung Drs. IB Wijaya Kusuma. Ia mengatakan, dalam masyarakat Hindu di seluruh Bali, dikenal ada dua upacara ngusabha yakni Ngusabha Desa dan Ngusabha Nini. Kedua ngusabha ini memiliki makna yang sama, hanya tempat pemujaannya yang berbeda. ''Kalau Ngusabha Desa ada pada tingkatan wilayah desa, sedangkan Ngusabha Nini ada pada tingkatan wilayah sawah,'' katanya. Selain perbedaan tempat, wujud stana Dewi Sri juga memiliki perbedaan. Kalau pada Ngusaba Desa menggunakan berbagi buah-buahan, sedangkan pada Ngusabha Nini memakai seikat padi.

Menurut mantan Ketua PHDI Bali ini, berdasarkan beberapa lontar seperti Dharma Pemaculan, Sri Purana Tatawa dan Dewa Tatwa, pelaksanaan upacara Ngusabha dilakukan tiap tahun sekali. Tujuannya sebagai sarana pemahayu jagat, wujud rasa syukur dan juga untuk menghindarkan masyarakat dari segala marabahaya. ''Tetapi pada kenyataannya upacara ngusabha ini lebih banyak dilaksanakan dalam sepuluh tahun sekali,'' kata Kusuma.

Upacara ini bisa dilaksanakan dalam jangka waktu 4, 6 atau 8 tahun. Semuanya tergantung dari situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat yang bersangkutan. Kalau di desa tersebut terjadi banyak sekali peristiwa yang bisa membuat leteh, terjadi bencana alam atau kejadian-kejadian lainnya, maka upacara ngusabha akan digelar.

Wijaya menambahkan, upacara Ngusabha Nini, yang berpusat di Pura Ulun Carik tempat Dewi Sri -- sakti Dewa Wisnu berstana -- petani tidak sekadar meminta perlindungan, akan tetapi juga mengucapkan terima kasih melalui suatu ''perjamuan'' yang dilengkapi sesajen dengan simbolnya masing-masing.

Boleh jadi tradisi ini sudah dikenal sejak manusia tidak lagi hidup berpindah-pindah. Masyarakat sudah membuka sawah ladang, yang diberikan makna sesuai konsep Hindu, bahwa manusia dengan sang pencipta merupakan satu-kesatuan. Manusia tunduk pada alam. Alam memberikan perlindungan, dan dilindungi oleh manusia. Karena alam yang sedang dilindungi adalah alam persawahan, penyelenggaranya secara niskala adalah Batara di Ulun Carik, dan secara sekala adalah klian subak beserta perangkat dan anggotanya.

Dalam konteks masa kini, kata Wijaya, pertemuan tersebut mencerminkan adanya momentum ketika manusia sebagai makhluk sosial dengan segala keterbatasannya ''berkomunikasi'' dengan kekuatan di atasnya, yang tidak terjangkau oleh akal dan daya fisik. Kekuatan itu diyakini telah memberikan perlindungan dan pengayoman dalam mengarungi kehidupan, terutama dalam hubungannya dengan kelahiran, kehidupan, dan kematian.

Dialektika kehidupan ini, haruslah harmonis. Artinya manusia dapat dilahirkan dengan selamat, tumbuh dan berkembang secara wajar, dan kematian. Itu berlangsung secara alami atas kehendak para dewa, bukan karena dibantai atau gerubug, gering karena penyakit menular yang muncul secara serentak atau kesalahan teknik dalam mengelola persawahan. Jika sesuatu telah berlangsung harmonis, tak perlu lagi diadakan pertemuan dengan para dewa, sebab tak ada bahan yang dapat dijadikan keluhan atau laporan.

Kenyataannya, keharmonisan sering kali hanya berada dalam angan-angan. Ketika manusia membayangkan dirinya akan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, tiba-tiba saja muncul banyak rintangan pada pengadaan pangan. Misalnya, gangguan alam, binatang, dan hama tanaman padi. Di masa kini, gangguan lebih banyak muncul karena keserakahan. Terjadi penebangan hutan, pencurian batu kali, dan pengalihan fungsi tanah atas dasar kepentingan komersial belaka. Keserakahan kemudian menimbulkan kerusakan alam, seperti banjir dan tanah longsor.

Siapa pun yang mengalami hal itu akan kelabakan. Di zaman dulu orang-orang Bali-Hindu mengatasi kebingungan ini dengan cara meminta perlindungan dari para dewa. Dalam hal ini diwakili oleh Dewi Sri, perwujudan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam bentuk cinta kasih kesuburan. Masih perlukah hal yang serupa dilakukan oleh orang-orang Bali modern yang sudah jelas-jelas menuai bencana melalui keserakahannya? Akankah Ngusabha Nini mengandung daya efektivitas jika persoalannya sudah sesemrawut itu.

Lahan Sawah Tergiring

Makna apa yang dapat kita petik dari esensi upacara Ngusabha itu? Menurut Nyoman Wijaya, ketika kearifan Dewi Sri telah digantikan oleh dewi teknologi dan lahan sawah sudah tergiring -- dikapling menjadi lahan industri pariwisata -- masih perlukah upacara Ngusabha Nini? Secara real, akan terjadi penyederhanaan. Tidak lagi serumit dulu. Tampaknya, orang Bali-Hindu masih belum bisa melepaskannya, apalagi membuang upacara ini. Upacara ini telah menjadi bagian dari masyarakat dan kebudayaan Bali, terutama dalam hubungannya dengan upaya pelestarian hubungan antara manusia dengan sang pencipta, alam, dan sesamanya.

Upacara seperti ini telah menjadi ajang pertemuan, tempat manusia saling bisa berinteraksi. Di sisi lain akan timbul juga permasalahan baru, terutama bagi para urban yang hidup di sektor jasa. Tidak lagi dalam pola agraris, namun secara fisik tetap berhubungan dengan masyarakat asalnya. Kenapa? Masyarkat masih memiliki dan terikat dengan desa adatnya. Akankah kita bisa memisahkan antara ngusabha untuk kepentingan pertanian dan untuk kesejahteraan desa? Bisakah seseorang yang tidak lagi sebagai petani dan anggota subak tidak aktif dalam upacara Ngusabha Nini.

Dalam Paruman Sulinggih PHDI Bali, kata Wijaya Kusuma yang juga mantan Ketua Harian PHDI Bali ini, kenyataannya banyak lahan pertanian yang beralih fungsi dan berakibat pada ditinggalkannya pura subak menjadi salah satu pembahasan penting. Para sulinggih pada saat itu mengimbau agar pura subak tersebut jangan di-pralina, tetapi dilanjutkan pengelolaannya oleh masyarakat Hindu yang masih ada di sekitarnya.

Dasar yang bisa dipakai, kata Wijaya Kusuma, pemujaan terhadap Dewi Sri sebagai dewa padi, pasti tetap menjadi hal penting bagi tiap orang. ''Bagaimana pun tiap manusia pasti membutuhkan beras sebagai makanan pokoknya dan ini bisa digunakan dasar bahwa mereka pun tetap akan memuja Dewi Sri yang distanakan di pura subak tersebut,'' kata Kusuma. Ditambahkan, kalau di sekitar pura subak tersebut tidak ada lagi umat Hindu, memang sebaiknya pura tersebut di-pralina.

Bagaimana menempatkan konsep ngusabha dalam konteks masa kini? Menurut Nyoman Wijaya, di tengah-tengah kemajuan peradaban ini, perlu kiranya menempatkan konsep upacara Ngusabha Nini dalam interpretasi masa kini. Konsep ngusabha telah mengajarkan, sesuatu tidak dapat digerakkan, jika tidak dikaitkan dengan mekanisme dan sistem. Para dewa tidak mampu melaksanakan misinya, jika tidak ada manusia. Dalam hal ini para petani, sebagai pihak yang mengerjakan, dan mengolah lahan.

Sebaliknya, petani tidak akan mampu membuat sesuatu tanpa keyakinan spiritual. Di sini ada sesuatu kekuatan yang telah mengendalikan kehidupan, sekalipun samar-samar kekuatan itu telah terwujud dalam perangkat teknologi. Konsep ini telah mengajarkan semacam sistem kabinet kerja. Segala sesuatu hanya akan bisa dilakukan jika sudah berada dalam suatu koridor kerja sama antara berbagai bidang, semacam pendekatan holistik untuk memecahkan dan menganalisis suatu masalah. Berdasarkan hal itu, sesuai dengan kepentingan masa kini, konsep ngusabha harus diberikan interpretasi baru, sebagai suatu pendekatan baru dalam memecahkan persoalan, keagrarian, terutama persawahan.

Dikatakan, kemajuan sektor industri pariwisata di Bali, tidak akan ada artinya jika tidak ditopang oleh penataan sektor agraris persawahan. Industri pariwisata harus dibangun atau didasari oleh penataan alam persawahan yang bagus, dan ini tantangan berat yang sedang dihadapi oleh Bali. Artinya, di satu sisi dia harus mampu membuat suatu paket pariwisata yang bagus, tanpa merusak alam. Padahal ada kecenderungan pariwisata selalu menggerus alam. Kalau sudah demikian, berarti persoalan persawahan di Bali, sudah saatnya tidak lagi ditangani oleh perangkat subak semata. Kepala pemerintahan tentunya Dinas Pariwisata harus dilibatkan sesuai konsep Ngusabha Nini yang melibatkan banyak dewa dan manusia. (win/sut)

Balipost 23 Januari 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar